BERITA TERKINI :
Berita Terbaru
Berita Terhangat
DPD PKS Samarinda
Fiqh & Syariah
Keluarga Sakinah
Kiprah DPC Samarinda Ulu
DPRD Provinsi KALTIM
Tausiyah dari Ustadz Kita
Opini Kiriman Pembaca
Kolom Kesehatan ( Akh Haris )
Tampilkan postingan dengan label kolom pena kader. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kolom pena kader. Tampilkan semua postingan
3/10/2012
Bu...,apakah allah membenci kita...!!??
Anak laki-laki kecil itu menatap ibunya yang menangis tanpa suara. Di pandanginya wajah tirus tua ibunya. Ada kesedihan mendalam disana. Ada ketabahan yang coba dikuat-kuatkan.
Sementara itu angin barat sore, menyapu halus pohon kamboja dan menggugurkan daun-daun tuanya. Jatuh digundukan tanah merah yang baru saja ditimbun diatas tubuh ayahnya yang meninggal karena “kecelakaan”.
Hanya ada mereka berdua yang tertinggal di pemakaman itu. Suasana pemakaman itu sunyi. Sepi. Anak kecil berumur 5 tahun itu tak mengerti mengapa mereka harus tinggal lebih lama di tempat itu. Sesungguhnya ia mau segera pulang dan beristirahat. Kakinya sudah begitu lelah. Juga lapar. Namun melihat ibunya yang berduka, ia tak berani meminta kepada ibunya untuk pulang.
Entah apa yang ada dipikiran ibunya. Satu hal yang ia tahu, ayahnya bukanlah orang yang baik. Ia sering berjudi, mabuk-mabukan dan sering memukul ibunya. Pulang kerumah hanya untuk marah-marah, kemudian pergi lagi setelah memeras uang gaji mencuci ibunya. Padahal ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga selama ini sebagai tukang cuci baju. Ingin sebenarnya ia membantu ibunya, namun ibunya selalu berkata bahwa ia masih terlalu kecil untuk bekerja.
“Kamu masih kecil, Le. Nanti kalo kamu sudah besar, kamu boleh bantu ibu.” Ibunya berkata.
“Tapi bu, aku kuat kok bantu ibu nyuci. Meras cucian aja kalo ibu nda’ mau aku nyikat bajunya.” Tawar anak lelaki itu.
Ibunya hanya tersenyum sambil tetap mencuci.
“Le, kamu mau nuruti kata-kata ibu saja, itu sudah membantu ibu. Kamu mau nuruti kata-kata ibu, kan? Mau jadi anak baik kan?
Bocah itu mengangguk.
“Kalo gitu, bikinkan ibu teh saja ya. Nanti setelah ibu nyuci pasti haus” pinta ibunya.
Bocah itu riang masuk kedapur dan membuatkan teh. Ia harus menjadi anak baik. Selalu menuruti nasehat ibunya. Hanya dengan cara itu ia bisa melihat ibunya tersenyum meski sering dipukul ayahnya. Ayah yang kejam. Tapi entah mengapa ia tidak bisa benar-benari membenci lelaki itu. Mungkin ia masi terlalu kecil untuk mengetahui dan belajar tentang rasa benci. Rasa yang bertahun-tahun kemudian yang menjadi tonggak alasannya melanjutkan hidup.
Dan ia tahu pasti, mengapa ayahnya meninggal. Ayahnya meninggal karena ditikam oleh teman judinya. Dan setelah ayahnya meninggal, teman-teman ayahnya itu datang kerumah dan mengambil barang–barang berharga yang ada dirumah. Ibunya hanya dapat menangis pada saati itu dan ia…, masih terlalu kecil untuk dapat mengusir orang-orang yang mengambil barang mereka dirumah.
Ibu-anak itu baru saja selesai menunaikan shalat magrib. Anak itu berdiri disebelah kiri ibunya. Mengiuti setiap gerak dan baca ibunya.
“Bu, apakah allah benci kita ?”, tanya anak kecil itu lugu. Sang ibu menatap anak lelakinya itu dan mencoba tersenyum.
” Tidak nak….. Tidak. Allah tidak pernah membenci hamba-nya. Bahkan allah sangat mencintai kita. Ini hanya salah satu cara allah untuk menunjukkkan cinta-nya pada kita. Allah ingin menguji kita, apakah kita pantas untuk mendapatkan cinta-Nya yang lebih besar. Oleh karana kita harus bersabar, nak”
Anak lelaki itu sebenarnya tak paham dengan ucapan ibunya. Namun ia tak ingin bertanya lebih jauh, tentang maksud perkataan ibunya. Ia tak ingin menambah beban pikiran ibunya.
Dan ketika mentari sore hanya meninggalkan rona merah saga di ufuk barat, akhirnya ibu-anak itu meninggalkan pemakaman. Semilir angin senja menusuk kulit. Namun hati ibu itu lebih tertusuk. Oleh meninggalnya sang suami. Bukan, bukan Cuma itu. Ia tertusuk karena masalah yang ditinggalkan oleh suaminya itu.
Sang ibu memandangi anak semata wayangnya. Ia tak tahu bagaimana harus membesarkan anak itu. Anak titipan Tuhan sang Maha cinta. Hanya yakinnya saja yang membuat ia masih berharap. Tuhan tidak mengatakan bahwa hidup itu mudah. Tetapi tuhan menjanjikan pertolongan-Nya ketika seseorang susah.
Bersambung……
Cerpen Bersambung "Arus kehidupan" By : DMC ( Pengurus Bid.BKO )
10/03/12
Bu...,apakah allah membenci kita...!!??
Anak laki-laki kecil itu menatap ibunya yang menangis tanpa suara. Di pandanginya wajah tirus tua ibunya. Ada kesedihan mendalam disana. Ada ketabahan yang coba dikuat-kuatkan.
Sementara itu angin barat sore, menyapu halus pohon kamboja dan menggugurkan daun-daun tuanya. Jatuh digundukan tanah merah yang baru saja ditimbun diatas tubuh ayahnya yang meninggal karena “kecelakaan”.
Hanya ada mereka berdua yang tertinggal di pemakaman itu. Suasana pemakaman itu sunyi. Sepi. Anak kecil berumur 5 tahun itu tak mengerti mengapa mereka harus tinggal lebih lama di tempat itu. Sesungguhnya ia mau segera pulang dan beristirahat. Kakinya sudah begitu lelah. Juga lapar. Namun melihat ibunya yang berduka, ia tak berani meminta kepada ibunya untuk pulang.
Entah apa yang ada dipikiran ibunya. Satu hal yang ia tahu, ayahnya bukanlah orang yang baik. Ia sering berjudi, mabuk-mabukan dan sering memukul ibunya. Pulang kerumah hanya untuk marah-marah, kemudian pergi lagi setelah memeras uang gaji mencuci ibunya. Padahal ibunyalah yang menjadi tulang punggung keluarga selama ini sebagai tukang cuci baju. Ingin sebenarnya ia membantu ibunya, namun ibunya selalu berkata bahwa ia masih terlalu kecil untuk bekerja.
“Kamu masih kecil, Le. Nanti kalo kamu sudah besar, kamu boleh bantu ibu.” Ibunya berkata.
“Tapi bu, aku kuat kok bantu ibu nyuci. Meras cucian aja kalo ibu nda’ mau aku nyikat bajunya.” Tawar anak lelaki itu.
Ibunya hanya tersenyum sambil tetap mencuci.
“Le, kamu mau nuruti kata-kata ibu saja, itu sudah membantu ibu. Kamu mau nuruti kata-kata ibu, kan? Mau jadi anak baik kan?
Bocah itu mengangguk.
“Kalo gitu, bikinkan ibu teh saja ya. Nanti setelah ibu nyuci pasti haus” pinta ibunya.
Bocah itu riang masuk kedapur dan membuatkan teh. Ia harus menjadi anak baik. Selalu menuruti nasehat ibunya. Hanya dengan cara itu ia bisa melihat ibunya tersenyum meski sering dipukul ayahnya. Ayah yang kejam. Tapi entah mengapa ia tidak bisa benar-benari membenci lelaki itu. Mungkin ia masi terlalu kecil untuk mengetahui dan belajar tentang rasa benci. Rasa yang bertahun-tahun kemudian yang menjadi tonggak alasannya melanjutkan hidup.
Dan ia tahu pasti, mengapa ayahnya meninggal. Ayahnya meninggal karena ditikam oleh teman judinya. Dan setelah ayahnya meninggal, teman-teman ayahnya itu datang kerumah dan mengambil barang–barang berharga yang ada dirumah. Ibunya hanya dapat menangis pada saati itu dan ia…, masih terlalu kecil untuk dapat mengusir orang-orang yang mengambil barang mereka dirumah.
Ibu-anak itu baru saja selesai menunaikan shalat magrib. Anak itu berdiri disebelah kiri ibunya. Mengiuti setiap gerak dan baca ibunya.
“Bu, apakah allah benci kita ?”, tanya anak kecil itu lugu. Sang ibu menatap anak lelakinya itu dan mencoba tersenyum.
” Tidak nak….. Tidak. Allah tidak pernah membenci hamba-nya. Bahkan allah sangat mencintai kita. Ini hanya salah satu cara allah untuk menunjukkkan cinta-nya pada kita. Allah ingin menguji kita, apakah kita pantas untuk mendapatkan cinta-Nya yang lebih besar. Oleh karana kita harus bersabar, nak”
Anak lelaki itu sebenarnya tak paham dengan ucapan ibunya. Namun ia tak ingin bertanya lebih jauh, tentang maksud perkataan ibunya. Ia tak ingin menambah beban pikiran ibunya.
Dan ketika mentari sore hanya meninggalkan rona merah saga di ufuk barat, akhirnya ibu-anak itu meninggalkan pemakaman. Semilir angin senja menusuk kulit. Namun hati ibu itu lebih tertusuk. Oleh meninggalnya sang suami. Bukan, bukan Cuma itu. Ia tertusuk karena masalah yang ditinggalkan oleh suaminya itu.
Sang ibu memandangi anak semata wayangnya. Ia tak tahu bagaimana harus membesarkan anak itu. Anak titipan Tuhan sang Maha cinta. Hanya yakinnya saja yang membuat ia masih berharap. Tuhan tidak mengatakan bahwa hidup itu mudah. Tetapi tuhan menjanjikan pertolongan-Nya ketika seseorang susah.
Bersambung……
3/07/2012
oleh : Sani Bin Husain
Sore itu cerah kira-kira jam.17.15 wita, dua tahun lalu pada bulan Agustus sedangkan tanggalnya saya tidak ingat persisnya tanggal berapa. Saya beserta Ustadz Nur Huda duduk di teras rumah Beliau sambil menikmati sajian siomay yang masih hangat. Memang hampir setiap pekan kerumah Ustadz Nur mengantarkan Istri Saya untuk mengikuti pengajian rutin bersama Mbak Win Istri Beliau. Tapi seingat Saya hanya empat kali kami bertemu selama hampir setahun lalu lalang di rumah Beliau, dua kali kami bertemu hanya berdua, sekali bertemu dengan Beliau Saya bersama Ustadz Anwar dan sekali lagi bertemu Beliau Saya bersama Akh Sutiono. Belakangan Saya baru tahu bahwa Ustadz Nur adalah orang yang selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan besarnya, walaupun Saya tahu kondisi fisik Beliau sudah tidak lagi bersahabat dengan semangat dan kegigihannya.
Jika mengenang pertemuan pertama kami sebenarnya belum lama memang Saya mengenal Ustadz Nur. Dan Saya bukan termasuk orang dekat Beliau. Praktis tujuh tahun sejak beliau menyapa di ruang tamu Kantor DPW dengan senyuman khas dan menanyakan kesehatan Saya. Senyuman itu menjadi “Istimewa” karena hampir satu jam duduk diruang itu tidak ada satupun orang hilir mudik menyapa Saya, malah tatapan curiga, beberapa orang yg biasa saya temui di kampus dengan agak sedikit kasar bertanya mengapa saya berada di sana, itu hal yg biasa karena Saya kader baru yang dulu di kampus dianggap “musuh”. Kejutan bukan hanya pada senyuman tetapi kehangatan perjumpaan seolah-olah kami sudah kenal lama. Saya sudah sering menghadapi berbagai macam model orang dan dengan jelas Saya dapat merasakan sikap Beliau bukan basa¬-basi, air muka Ustadz Nur tulus. Saya berkata dalam hati orang ini pasti bukan orang sembarangan, apapun yang Beliau lakukan pasti mampu menyentuh banyak orang.
“Silahkan akh , di cicipi Siomay -nya.” sapa Ustadz Nur. “Iya Ustadz” Dengan sedikit malu-malu Saya mengambil sebungkus siomay di atas piring. Sendokan pertama beliau masih mengamati dan saya dapat merasakan itu. Beberapa saat kemudian spontan Beliau berkata,“ Akh jika ada campuran siomay yang antum nggak suka, boleh antum pindahkan ke piring saya”. Mungkin yang dimaksud Beliau adalah sayur pare yang rasanya pahit dan telah umum menjadi campuran siomay. Masalah memindahkan makanan itu soal sederhana, tapi di dalamnya terkandung nilai yang besar, apalagi dilakukan oleh Ustadz sekaliber Beliau. Rasanya agak langka di saat sekarang ini perangai seperti Beliau, bahkan di organsisasi da’wah sekalipun kita tidak mudah menemukan pewaris sifat-sifat khas Beliau yang bersahabat. Beberapa kawan pernah bercerita di sela-sela pemakaman Ustadz Nur bahwa sapaan yang sering sekali Beliau ucapkan ketika bertemu pengurus struktur Partai adalah ungkapan antusiasme yang mengalir lewat kalimat “Akh apa yang saya bisa bantu untuk antum ?”. Pendapat Fakar Ilmu kepemimpinan Yukt (1991) mengatakan bahwa terkadang jarak antar Pimpinan dengan yang dipimpin harus di buat walau hanya dengan celah kecil untuk menjaga kewibawaan seorang pimpinan, tetapi Ustadz Nur menghapuskan jarak itu, Beliau sepertinya tidak butuh jarak itu, dan kalau dugaan saya tidak keliru justru ketiadaan jarak itulah yang membuat banyak orang simpati pada Ustadz Nur, bahkan mereka merasa sangat kehilangan.
Sepanjang menikmati sepiring siomay yang sengaja Saya lambat-lambatkan habisnya, Beliau bercerita tentang masa kecil beliau yang sering sekali berkelahi. “Akh dulu saya sering sekali berkelahi, hampir setiap dua hari sekali pasti duel, berkelahi bagi saya hampir seperti olah raga rutin”. Sedikit tersenyum Saya berupaya menutupi keterkejutan saya soal sejarah masa kecil Beliau. Wajarlah paradigma kita sudah terlanjur terbentuk bahwa orang sholeh sekarang adalah produk dari sejarah yang tanpa cela dari masa lalu. “Ah masa’ Ustadz, jadi biasanya karena apa berantemnya Ustadz”.Dengan sedikit roman wajah humor Ustadz Nur menjawab “ Saya tidak pernah berkelahi karena ingin menyakiti teman, lebih banyak karena ingin membela teman lain yang kelihatan lemah secara fisik tapi selalu di tekan oleh yang lain, lingkungan saya dulu yang mengaharuskan saya menjadi jagoan kampung ha..ha..ha..”. Saya pun merasa sedikit lega karena setidaknya bukan Nurhuda kecil yang tukang membuat onar, Saya pun menimpali tawa beliau “ Itulah mungkin tanda-tanda Ustadz akan menjadi pembela da’wah dan kebenaran seperti sekarang ini” memang ucapan barusan agak sedikit melankolis tapi hanya kalimat itu yang ada dalam perbendaharaan kata di fikiran Saya saat itu. Beberapa detik kemudian Beliau terdiam, lalu dengan kata-kata yg sedikit berat lalu berucap “ Akhi .. jangan terlalu melebihkan, setiap kita memikul tugas da’wah ini bersama-sama. Setiap orang yang memahami betapa besar balasan yang Allah sediakan pasti akan berlomba-lomba mengerjakan hal ini. Maka bersyukurlah kita berada dijalannya para Nabi. Dan cara memelihara rasa syukur itu adalah berusaha menjadi lebih baik setiap hari, ”. Dalam kondisi pernah Stroke berat hingga kemampuan fisik terbatas Beliau masih punya niat seperti itu, mataku berkaca, kata-kataku blank , yang bisa kulakukan hanya menguyah siomay yang sebentar lagi akan habis.
“Ustadz sampai kapan kita berada periode Mulkan Jabbariyyah ” Pertanyaan sela kuluncurkan untuk menyambung obrolan pertemuan pertama dahulu. Sekaligus memecahkan kebuntuan komunikasi setelah hampir satu menit kami berdua hanya terdiam mungkin konsentrasi mengunyah siomay yang rasanya mantap. Selain itu dari tadi belum ada kata-kata berbobot yang saya sampaikan, itung-itung sekedar ingin menunjukkan bahwa Saya yang waktu itu masih Ketua DPRa bisa juga bicara tentang Peradaban, walaupun aslinya sich… cuma sok tahu. Tapi Ustadz Nur dengan nada serius menjawab “ Akhi kalaupun kita berada pada Mulkan Jabbariyyah mungkin saat ini kita berada pada penghujungnya agar kita bisa melangkah ke fase berikutnya, yang sebaiknya kita lakukan sekarang adalah dengan mengupayakan empat hal yang seperti anak tangga yang harus di lewati ; pertama binaa’ al fard al muslimin ( Membentuk Pribadi-pribadi Muslim), kedua binaa’ al-usrah al muslimah ( membentuk rumah tangga muslim ), ketiga binaa’ al-mujtama’ al muslim ( membentuk masyarakat muslim ) dan yang terakhir Tauhid al ummah al-Islamiyah ( Penyatuan Umat Islam ).”
Kurang lebih sepuluh menit Beliau menjelaskan empat point tersebut dengan singkat. Saya hanya mendengar dan beberapa kali menganggukkan kepala seolah-olah mengerti, padahal fikiran saya sedang mencerna keras untuk memahami apa yang beliau katakan. Belakangan Saya baru tahu itulah konsep Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir M.A seorang Ulama dari Madinah yang menyelesaikan tesis yang fenomenal berjudul ‘at Thoriq ila jama’atil Muslimin ’. Tesis itu kemudian di bukukan dan menjadi rujukan dalam memahami telaah sistem jamaah dalam gerakan Islam. Selepas itu Saya tidak bertanya lagi, takut salah dan belum tentu Saya memahami jawaban Beliau. Istri Saya keluar rumah , lalu saya memohon pamit selepas menghabiskan segelas air mineral bukan karena haus, barangkali karena fikiran Saya bekerja lebih keras. Ustadz Nur melepas kami dengan hangat. Sore yang penuh kesan, bersama orang yang penuh perhatian.
Seminggu sudah semenjak wafatnya Beliau, seluruh materi Halaqoh7 tiba-tiba berubah tema menjadi membicarakan keteladanan hidup Beliau. Tidak terkecuali syuro8 Dewan Guru sebuah sekolah Islam tempat Saya bekerja. Sabtu pagi selepas peringatan maulid Nabi, syuro dimulai dengan Taujih oleh Ustadz Wahab selaku kepala Sekolah. Awalnya lancar-lancar saja seperti biasa, lalu beberapa saat kemudian suasana menjadi haru, Ustadz Wahab pun bercerita dengan wajah yang berusaha menahan air mata. Betapa tergambar ketika salah seorang Mad’u Beliau menge-cat rumah Ustadz Nur. Tidak ada barang mewah layaknya seseorang yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi atau pemimpin besar wilayah. Yang ada hanya kamar-kamar sederhana yang sulit di bedakan mana kamar Ustadz Nur dan Mbak Win, dan mana kamar anak-anak Beliau. Prabot rumah seperlunya dan jauh dari kesan mewah. Saya jadi teringat pepatah lama yang populer di dunia barat di sampaikan filusuf timur ,Lao-Tzu “ He who controls others may be powerful, but he who has mastered himself is mightier still . Syuro Dewan Guru saat itu dimulai dengan bercermin pada seorang Guru Spiritual yang mampu menahan obsesi akan hingar bingar yang bersifat sementara untuk tujuan yang lebih besar dan lebih kekal.
Saya beberapa kali mendengar kisah kegigihan Beliau untuk berkontribusi dalam Da’wah walau dalam keterbatasan sekalipun. Semangat Beliau mengikuti syuro sangat besar. Setiap syuro Beliau selalu hadir hingga akhir. Mengingat kondisi Beliau yang memiliki indikasi berpotensi mengalami stroke serangan kedua yang lebih fatal dari serangan pertama, maka sampai-sampai beberapa Ustadz sebagai bentuk kasih sayang terhadap Beliau terpaksa merahasiakan waktu syuro. Hanya saja Ustadz Nur selalu punya cara untuk mengetahui waktu syuro dan datang mengikutinya. Kadang kala syuro di berhentikan sejenak seolah-olah sudah berakhir, tapi Beliau menunggu sampai peserta berangsur-angsur pulang. Terpaksa beberapa peserta syuro hanya memutar mobil di jalan untuk memberikan kesan seolah benar-benar pulang, lalu kembali lagi ke Sekertariat DPW untuk melanjutkan syuro setelah Ustadz Nur di antar pulang untuk istirahat.
Semasa hidup, Beliau bukan hanya memberikan inspirasi dan kata-kata pembangkit semangat layaknya kebanyakan pemimpin pergerakan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua, Beliau telah memberikan contoh teladan yang menunjukkan bagaimana karakter seorang pejuang yang gigih sekaligus di saat yang bersamaan memiliki kehangatan persahabatan. Melihat Beliau berinteraksi memberi pelajaran pada Saya tentang At-Thoriq ilal Qulub . Tidak hanya retorika atau sekedar kata-kata indah Tapi Beliau telah memberikan contoh langsung bagaimana seorang Pejuang itu hidup dan berjuang hingga titik yang paling akhir.
Pagi hari menjelang pemakaman Ustadz Nur, entah mengapa tiba-tiba Saya ingin menuliskan Puisi pendek di buku saku untuk Beliau yang pada hari itu memulai perjalanan menuju Surga. Puisi tanpa judul itu berbunyi :
“Sahabat tahukah engkau apa itu "Hari-hari Cinta", hari-hari Cinta itu adalah
hari dimana perjuangan & air mata menjadi satu dalam telaga Rindu.
Pada hari itu detak jantungmu seirama dengan lagu kedamaian dan
ketenangan, walau tubuhmu terpenjara dalam bilik-bilik sunyi Tirani dan
terhempas oleh debu jalanan. Pada Hari itu banyak hamba mempersembahkan hidupnya untuk Sang Pencinta Sejati, Pemilik labuhan rindu setiap Pejuang… “
Selamat Jalan Ustadz Nur Huda, kelak Kami akan menjadi Saksi …
Ustad Nur Huda, Qiyadah yang Gigih dan Bersahabat
07/03/12
oleh : Sani Bin Husain
Sore itu cerah kira-kira jam.17.15 wita, dua tahun lalu pada bulan Agustus sedangkan tanggalnya saya tidak ingat persisnya tanggal berapa. Saya beserta Ustadz Nur Huda duduk di teras rumah Beliau sambil menikmati sajian siomay yang masih hangat. Memang hampir setiap pekan kerumah Ustadz Nur mengantarkan Istri Saya untuk mengikuti pengajian rutin bersama Mbak Win Istri Beliau. Tapi seingat Saya hanya empat kali kami bertemu selama hampir setahun lalu lalang di rumah Beliau, dua kali kami bertemu hanya berdua, sekali bertemu dengan Beliau Saya bersama Ustadz Anwar dan sekali lagi bertemu Beliau Saya bersama Akh Sutiono. Belakangan Saya baru tahu bahwa Ustadz Nur adalah orang yang selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan besarnya, walaupun Saya tahu kondisi fisik Beliau sudah tidak lagi bersahabat dengan semangat dan kegigihannya.
Jika mengenang pertemuan pertama kami sebenarnya belum lama memang Saya mengenal Ustadz Nur. Dan Saya bukan termasuk orang dekat Beliau. Praktis tujuh tahun sejak beliau menyapa di ruang tamu Kantor DPW dengan senyuman khas dan menanyakan kesehatan Saya. Senyuman itu menjadi “Istimewa” karena hampir satu jam duduk diruang itu tidak ada satupun orang hilir mudik menyapa Saya, malah tatapan curiga, beberapa orang yg biasa saya temui di kampus dengan agak sedikit kasar bertanya mengapa saya berada di sana, itu hal yg biasa karena Saya kader baru yang dulu di kampus dianggap “musuh”. Kejutan bukan hanya pada senyuman tetapi kehangatan perjumpaan seolah-olah kami sudah kenal lama. Saya sudah sering menghadapi berbagai macam model orang dan dengan jelas Saya dapat merasakan sikap Beliau bukan basa¬-basi, air muka Ustadz Nur tulus. Saya berkata dalam hati orang ini pasti bukan orang sembarangan, apapun yang Beliau lakukan pasti mampu menyentuh banyak orang.
“Silahkan akh , di cicipi Siomay -nya.” sapa Ustadz Nur. “Iya Ustadz” Dengan sedikit malu-malu Saya mengambil sebungkus siomay di atas piring. Sendokan pertama beliau masih mengamati dan saya dapat merasakan itu. Beberapa saat kemudian spontan Beliau berkata,“ Akh jika ada campuran siomay yang antum nggak suka, boleh antum pindahkan ke piring saya”. Mungkin yang dimaksud Beliau adalah sayur pare yang rasanya pahit dan telah umum menjadi campuran siomay. Masalah memindahkan makanan itu soal sederhana, tapi di dalamnya terkandung nilai yang besar, apalagi dilakukan oleh Ustadz sekaliber Beliau. Rasanya agak langka di saat sekarang ini perangai seperti Beliau, bahkan di organsisasi da’wah sekalipun kita tidak mudah menemukan pewaris sifat-sifat khas Beliau yang bersahabat. Beberapa kawan pernah bercerita di sela-sela pemakaman Ustadz Nur bahwa sapaan yang sering sekali Beliau ucapkan ketika bertemu pengurus struktur Partai adalah ungkapan antusiasme yang mengalir lewat kalimat “Akh apa yang saya bisa bantu untuk antum ?”. Pendapat Fakar Ilmu kepemimpinan Yukt (1991) mengatakan bahwa terkadang jarak antar Pimpinan dengan yang dipimpin harus di buat walau hanya dengan celah kecil untuk menjaga kewibawaan seorang pimpinan, tetapi Ustadz Nur menghapuskan jarak itu, Beliau sepertinya tidak butuh jarak itu, dan kalau dugaan saya tidak keliru justru ketiadaan jarak itulah yang membuat banyak orang simpati pada Ustadz Nur, bahkan mereka merasa sangat kehilangan.
Sepanjang menikmati sepiring siomay yang sengaja Saya lambat-lambatkan habisnya, Beliau bercerita tentang masa kecil beliau yang sering sekali berkelahi. “Akh dulu saya sering sekali berkelahi, hampir setiap dua hari sekali pasti duel, berkelahi bagi saya hampir seperti olah raga rutin”. Sedikit tersenyum Saya berupaya menutupi keterkejutan saya soal sejarah masa kecil Beliau. Wajarlah paradigma kita sudah terlanjur terbentuk bahwa orang sholeh sekarang adalah produk dari sejarah yang tanpa cela dari masa lalu. “Ah masa’ Ustadz, jadi biasanya karena apa berantemnya Ustadz”.Dengan sedikit roman wajah humor Ustadz Nur menjawab “ Saya tidak pernah berkelahi karena ingin menyakiti teman, lebih banyak karena ingin membela teman lain yang kelihatan lemah secara fisik tapi selalu di tekan oleh yang lain, lingkungan saya dulu yang mengaharuskan saya menjadi jagoan kampung ha..ha..ha..”. Saya pun merasa sedikit lega karena setidaknya bukan Nurhuda kecil yang tukang membuat onar, Saya pun menimpali tawa beliau “ Itulah mungkin tanda-tanda Ustadz akan menjadi pembela da’wah dan kebenaran seperti sekarang ini” memang ucapan barusan agak sedikit melankolis tapi hanya kalimat itu yang ada dalam perbendaharaan kata di fikiran Saya saat itu. Beberapa detik kemudian Beliau terdiam, lalu dengan kata-kata yg sedikit berat lalu berucap “ Akhi .. jangan terlalu melebihkan, setiap kita memikul tugas da’wah ini bersama-sama. Setiap orang yang memahami betapa besar balasan yang Allah sediakan pasti akan berlomba-lomba mengerjakan hal ini. Maka bersyukurlah kita berada dijalannya para Nabi. Dan cara memelihara rasa syukur itu adalah berusaha menjadi lebih baik setiap hari, ”. Dalam kondisi pernah Stroke berat hingga kemampuan fisik terbatas Beliau masih punya niat seperti itu, mataku berkaca, kata-kataku blank , yang bisa kulakukan hanya menguyah siomay yang sebentar lagi akan habis.
“Ustadz sampai kapan kita berada periode Mulkan Jabbariyyah ” Pertanyaan sela kuluncurkan untuk menyambung obrolan pertemuan pertama dahulu. Sekaligus memecahkan kebuntuan komunikasi setelah hampir satu menit kami berdua hanya terdiam mungkin konsentrasi mengunyah siomay yang rasanya mantap. Selain itu dari tadi belum ada kata-kata berbobot yang saya sampaikan, itung-itung sekedar ingin menunjukkan bahwa Saya yang waktu itu masih Ketua DPRa bisa juga bicara tentang Peradaban, walaupun aslinya sich… cuma sok tahu. Tapi Ustadz Nur dengan nada serius menjawab “ Akhi kalaupun kita berada pada Mulkan Jabbariyyah mungkin saat ini kita berada pada penghujungnya agar kita bisa melangkah ke fase berikutnya, yang sebaiknya kita lakukan sekarang adalah dengan mengupayakan empat hal yang seperti anak tangga yang harus di lewati ; pertama binaa’ al fard al muslimin ( Membentuk Pribadi-pribadi Muslim), kedua binaa’ al-usrah al muslimah ( membentuk rumah tangga muslim ), ketiga binaa’ al-mujtama’ al muslim ( membentuk masyarakat muslim ) dan yang terakhir Tauhid al ummah al-Islamiyah ( Penyatuan Umat Islam ).”
Kurang lebih sepuluh menit Beliau menjelaskan empat point tersebut dengan singkat. Saya hanya mendengar dan beberapa kali menganggukkan kepala seolah-olah mengerti, padahal fikiran saya sedang mencerna keras untuk memahami apa yang beliau katakan. Belakangan Saya baru tahu itulah konsep Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir M.A seorang Ulama dari Madinah yang menyelesaikan tesis yang fenomenal berjudul ‘at Thoriq ila jama’atil Muslimin ’. Tesis itu kemudian di bukukan dan menjadi rujukan dalam memahami telaah sistem jamaah dalam gerakan Islam. Selepas itu Saya tidak bertanya lagi, takut salah dan belum tentu Saya memahami jawaban Beliau. Istri Saya keluar rumah , lalu saya memohon pamit selepas menghabiskan segelas air mineral bukan karena haus, barangkali karena fikiran Saya bekerja lebih keras. Ustadz Nur melepas kami dengan hangat. Sore yang penuh kesan, bersama orang yang penuh perhatian.
Seminggu sudah semenjak wafatnya Beliau, seluruh materi Halaqoh7 tiba-tiba berubah tema menjadi membicarakan keteladanan hidup Beliau. Tidak terkecuali syuro8 Dewan Guru sebuah sekolah Islam tempat Saya bekerja. Sabtu pagi selepas peringatan maulid Nabi, syuro dimulai dengan Taujih oleh Ustadz Wahab selaku kepala Sekolah. Awalnya lancar-lancar saja seperti biasa, lalu beberapa saat kemudian suasana menjadi haru, Ustadz Wahab pun bercerita dengan wajah yang berusaha menahan air mata. Betapa tergambar ketika salah seorang Mad’u Beliau menge-cat rumah Ustadz Nur. Tidak ada barang mewah layaknya seseorang yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi atau pemimpin besar wilayah. Yang ada hanya kamar-kamar sederhana yang sulit di bedakan mana kamar Ustadz Nur dan Mbak Win, dan mana kamar anak-anak Beliau. Prabot rumah seperlunya dan jauh dari kesan mewah. Saya jadi teringat pepatah lama yang populer di dunia barat di sampaikan filusuf timur ,Lao-Tzu “ He who controls others may be powerful, but he who has mastered himself is mightier still . Syuro Dewan Guru saat itu dimulai dengan bercermin pada seorang Guru Spiritual yang mampu menahan obsesi akan hingar bingar yang bersifat sementara untuk tujuan yang lebih besar dan lebih kekal.
Saya beberapa kali mendengar kisah kegigihan Beliau untuk berkontribusi dalam Da’wah walau dalam keterbatasan sekalipun. Semangat Beliau mengikuti syuro sangat besar. Setiap syuro Beliau selalu hadir hingga akhir. Mengingat kondisi Beliau yang memiliki indikasi berpotensi mengalami stroke serangan kedua yang lebih fatal dari serangan pertama, maka sampai-sampai beberapa Ustadz sebagai bentuk kasih sayang terhadap Beliau terpaksa merahasiakan waktu syuro. Hanya saja Ustadz Nur selalu punya cara untuk mengetahui waktu syuro dan datang mengikutinya. Kadang kala syuro di berhentikan sejenak seolah-olah sudah berakhir, tapi Beliau menunggu sampai peserta berangsur-angsur pulang. Terpaksa beberapa peserta syuro hanya memutar mobil di jalan untuk memberikan kesan seolah benar-benar pulang, lalu kembali lagi ke Sekertariat DPW untuk melanjutkan syuro setelah Ustadz Nur di antar pulang untuk istirahat.
Semasa hidup, Beliau bukan hanya memberikan inspirasi dan kata-kata pembangkit semangat layaknya kebanyakan pemimpin pergerakan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua, Beliau telah memberikan contoh teladan yang menunjukkan bagaimana karakter seorang pejuang yang gigih sekaligus di saat yang bersamaan memiliki kehangatan persahabatan. Melihat Beliau berinteraksi memberi pelajaran pada Saya tentang At-Thoriq ilal Qulub . Tidak hanya retorika atau sekedar kata-kata indah Tapi Beliau telah memberikan contoh langsung bagaimana seorang Pejuang itu hidup dan berjuang hingga titik yang paling akhir.
Pagi hari menjelang pemakaman Ustadz Nur, entah mengapa tiba-tiba Saya ingin menuliskan Puisi pendek di buku saku untuk Beliau yang pada hari itu memulai perjalanan menuju Surga. Puisi tanpa judul itu berbunyi :
“Sahabat tahukah engkau apa itu "Hari-hari Cinta", hari-hari Cinta itu adalah
hari dimana perjuangan & air mata menjadi satu dalam telaga Rindu.
Pada hari itu detak jantungmu seirama dengan lagu kedamaian dan
ketenangan, walau tubuhmu terpenjara dalam bilik-bilik sunyi Tirani dan
terhempas oleh debu jalanan. Pada Hari itu banyak hamba mempersembahkan hidupnya untuk Sang Pencinta Sejati, Pemilik labuhan rindu setiap Pejuang… “
Selamat Jalan Ustadz Nur Huda, kelak Kami akan menjadi Saksi …
Langganan:
Postingan (Atom)
Berita Terpopuler
-
Oleh: Suara Kebersamaan Cita cita kita begitu nyata Ingin Indonesia maju sejahtera Ingin sama berdiri di mata dunia Punya harga diri d...
-
Masyarakat Desa Pesayan dan Pilanjau, Kecamatan Sambaliung, Berau, meminta diperjuangkan listrik PLN dan air bersih saat anggota DPRD Kalt...
-
Oleh : Cahyadi Takariawan Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyaka...
-
SAMARINDA. Anggota Komisi I asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Gunawarman, mengatakan pemerintah provinsi perlu membentuk Satuan...
-
BANDUNG -- Delegasi dari Türkiye Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan Turki, dijamu makan malam oleh Guber...
-
JAKARTA -- Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengaku bersyukur masih ada anggota DPR berhati nurani yang berani mencegah 'pemerasan' (per...
-
Prof. Dr. Didik J. Rachbini Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pasangan DR. Hidayat Nur Wahid •#JihadTransportasiMassal kita hrs punya g...
-
SAMARINDA. Anggota Komisi IV DPRD Kaltim yang membidangi Kesra, Lelyanti Ilyas, meminta Pemkot Balikpapan memperhatikan warga Traktor 6, La...
-
Husnul Khatimah Umar, S.Psi Apakah anda pernah menemui anak yang gemar berbohong ? Sampai-sampai anda sulit membedakan yang mana fakta dan...
-
Meski sejak beberapa waktu lalu sejumlah parpol mulai melakukan penjaringan caleg yang dipersiapkan untuk Pemilu 2014 mendatang, namun DPW ...
DPW PKS KALTIM
Arsip Blog
-
▼
2012
(215)
-
▼
12/09 - 12/16
(9)
- Siapa Menyulut Api di Istana Ittihadiyah?
- Kisah Siti, Dina dan Umi : Reloaded
- Politisi PKS: Pidato SBY Bisa Bahayakan Pemberanta...
- Dikado Alquran oleh PKS, KPK: Ini Gratifikasi Tapi...
- PKS: Kami Siap di Dalam dan di Luar Kabinet
- Anis Matta : Inspirasi dari kisah Nabi Yusuf, Nabi...
- Dipimpin Hidayat Nurwahid F-PKS Datangi KPK Beri D...
- PKS: Ide Reshuffle Hanya Pengalihan Isu Maraknya K...
- AS dan Zionis Dibelakang Demo Anti Mursi? | Bocora...
- ► 12/02 - 12/09 (6)
- ► 11/25 - 12/02 (2)
- ► 11/18 - 11/25 (4)
- ► 05/20 - 05/27 (4)
- ► 05/06 - 05/13 (8)
- ► 04/29 - 05/06 (3)
- ► 04/22 - 04/29 (19)
- ► 04/15 - 04/22 (14)
- ► 04/08 - 04/15 (13)
- ► 04/01 - 04/08 (19)
- ► 03/25 - 04/01 (11)
- ► 03/18 - 03/25 (16)
- ► 03/11 - 03/18 (29)
- ► 03/04 - 03/11 (55)
- ► 02/26 - 03/04 (3)
-
▼
12/09 - 12/16
(9)
-
►
2011
(4)
- ► 07/24 - 07/31 (3)
- ► 07/17 - 07/24 (1)
Tahukah Kita
Renungan & Hikmah
Bidpuan DPC ULU
Dapur Bidpuan Samarinda Ulu
