NEWS UPDATE :

Ustad Nur Huda, Qiyadah yang Gigih dan Bersahabat

07/03/12


oleh : Sani Bin Husain

Sore itu cerah kira-kira jam.17.15 wita, dua tahun lalu pada bulan Agustus sedangkan tanggalnya saya tidak ingat persisnya tanggal berapa. Saya beserta Ustadz Nur Huda duduk di teras rumah Beliau sambil menikmati sajian siomay yang masih hangat. Memang hampir setiap pekan kerumah Ustadz Nur mengantarkan Istri Saya untuk mengikuti pengajian rutin bersama Mbak Win Istri Beliau. Tapi seingat Saya hanya empat kali kami bertemu selama hampir setahun lalu lalang di rumah Beliau, dua kali kami bertemu hanya berdua, sekali bertemu dengan Beliau Saya bersama Ustadz Anwar dan sekali lagi bertemu Beliau Saya bersama Akh Sutiono. Belakangan Saya baru tahu bahwa Ustadz Nur adalah orang yang selalu sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan besarnya, walaupun Saya tahu kondisi fisik Beliau sudah tidak lagi bersahabat dengan semangat dan kegigihannya.
Jika mengenang pertemuan pertama kami sebenarnya belum lama memang Saya mengenal Ustadz Nur. Dan Saya bukan termasuk orang dekat Beliau. Praktis tujuh tahun sejak beliau menyapa di ruang tamu Kantor DPW dengan senyuman khas dan menanyakan kesehatan Saya. Senyuman itu menjadi “Istimewa” karena hampir satu jam duduk diruang itu tidak ada satupun orang hilir mudik menyapa Saya, malah tatapan curiga, beberapa orang yg biasa saya temui di kampus dengan agak sedikit kasar bertanya mengapa saya berada di sana, itu hal yg biasa karena Saya kader baru yang dulu di kampus dianggap “musuh”. Kejutan bukan hanya pada senyuman tetapi kehangatan perjumpaan seolah-olah kami sudah kenal lama. Saya sudah sering menghadapi berbagai macam model orang dan dengan jelas Saya dapat merasakan sikap Beliau bukan basa¬-basi, air muka Ustadz Nur tulus. Saya berkata dalam hati orang ini pasti bukan orang sembarangan, apapun yang Beliau lakukan pasti mampu menyentuh banyak orang.
“Silahkan akh , di cicipi Siomay -nya.” sapa Ustadz Nur. “Iya Ustadz” Dengan sedikit malu-malu Saya mengambil sebungkus siomay di atas piring. Sendokan pertama beliau masih mengamati dan saya dapat merasakan itu. Beberapa saat kemudian spontan Beliau berkata,“ Akh jika ada campuran siomay yang antum nggak suka, boleh antum pindahkan ke piring saya”. Mungkin yang dimaksud Beliau adalah sayur pare yang rasanya pahit dan telah umum menjadi campuran siomay. Masalah memindahkan makanan itu soal sederhana, tapi di dalamnya terkandung nilai yang besar, apalagi dilakukan oleh Ustadz sekaliber Beliau. Rasanya agak langka di saat sekarang ini perangai seperti Beliau, bahkan di organsisasi da’wah sekalipun kita tidak mudah menemukan pewaris sifat-sifat khas Beliau yang bersahabat. Beberapa kawan pernah bercerita di sela-sela pemakaman Ustadz Nur bahwa sapaan yang sering sekali Beliau ucapkan ketika bertemu pengurus struktur Partai adalah ungkapan antusiasme yang mengalir lewat kalimat “Akh apa yang saya bisa bantu untuk antum ?”. Pendapat Fakar Ilmu kepemimpinan Yukt (1991) mengatakan bahwa terkadang jarak antar Pimpinan dengan yang dipimpin harus di buat walau hanya dengan celah kecil untuk menjaga kewibawaan seorang pimpinan, tetapi Ustadz Nur menghapuskan jarak itu, Beliau sepertinya tidak butuh jarak itu, dan kalau dugaan saya tidak keliru justru ketiadaan jarak itulah yang membuat banyak orang simpati pada Ustadz Nur, bahkan mereka merasa sangat kehilangan.
Sepanjang menikmati sepiring siomay yang sengaja Saya lambat-lambatkan habisnya, Beliau bercerita tentang masa kecil beliau yang sering sekali berkelahi. “Akh dulu saya sering sekali berkelahi, hampir setiap dua hari sekali pasti duel, berkelahi bagi saya hampir seperti olah raga rutin”. Sedikit tersenyum Saya berupaya menutupi keterkejutan saya soal sejarah masa kecil Beliau. Wajarlah paradigma kita sudah terlanjur terbentuk bahwa orang sholeh sekarang adalah produk dari sejarah yang tanpa cela dari masa lalu. “Ah masa’ Ustadz, jadi biasanya karena apa berantemnya Ustadz”.Dengan sedikit roman wajah humor Ustadz Nur menjawab “ Saya tidak pernah berkelahi karena ingin menyakiti teman, lebih banyak karena ingin membela teman lain yang kelihatan lemah secara fisik tapi selalu di tekan oleh yang lain, lingkungan saya dulu yang mengaharuskan saya menjadi jagoan kampung ha..ha..ha..”. Saya pun merasa sedikit lega karena setidaknya bukan Nurhuda kecil yang tukang membuat onar, Saya pun menimpali tawa beliau “ Itulah mungkin tanda-tanda Ustadz akan menjadi pembela da’wah dan kebenaran seperti sekarang ini” memang ucapan barusan agak sedikit melankolis tapi hanya kalimat itu yang ada dalam perbendaharaan kata di fikiran Saya saat itu. Beberapa detik kemudian Beliau terdiam, lalu dengan kata-kata yg sedikit berat lalu berucap “ Akhi .. jangan terlalu melebihkan, setiap kita memikul tugas da’wah ini bersama-sama. Setiap orang yang memahami betapa besar balasan yang Allah sediakan pasti akan berlomba-lomba mengerjakan hal ini. Maka bersyukurlah kita berada dijalannya para Nabi. Dan cara memelihara rasa syukur itu adalah berusaha menjadi lebih baik setiap hari, ”. Dalam kondisi pernah Stroke berat hingga kemampuan fisik terbatas Beliau masih punya niat seperti itu, mataku berkaca, kata-kataku blank , yang bisa kulakukan hanya menguyah siomay yang sebentar lagi akan habis.
“Ustadz sampai kapan kita berada periode Mulkan Jabbariyyah ” Pertanyaan sela kuluncurkan untuk menyambung obrolan pertemuan pertama dahulu. Sekaligus memecahkan kebuntuan komunikasi setelah hampir satu menit kami berdua hanya terdiam mungkin konsentrasi mengunyah siomay yang rasanya mantap. Selain itu dari tadi belum ada kata-kata berbobot yang saya sampaikan, itung-itung sekedar ingin menunjukkan bahwa Saya yang waktu itu masih Ketua DPRa bisa juga bicara tentang Peradaban, walaupun aslinya sich… cuma sok tahu. Tapi Ustadz Nur dengan nada serius menjawab “ Akhi kalaupun kita berada pada Mulkan Jabbariyyah mungkin saat ini kita berada pada penghujungnya agar kita bisa melangkah ke fase berikutnya, yang sebaiknya kita lakukan sekarang adalah dengan mengupayakan empat hal yang seperti anak tangga yang harus di lewati ; pertama binaa’ al fard al muslimin ( Membentuk Pribadi-pribadi Muslim), kedua binaa’ al-usrah al muslimah ( membentuk rumah tangga muslim ), ketiga binaa’ al-mujtama’ al muslim ( membentuk masyarakat muslim ) dan yang terakhir Tauhid al ummah al-Islamiyah ( Penyatuan Umat Islam ).”
Kurang lebih sepuluh menit Beliau menjelaskan empat point tersebut dengan singkat. Saya hanya mendengar dan beberapa kali menganggukkan kepala seolah-olah mengerti, padahal fikiran saya sedang mencerna keras untuk memahami apa yang beliau katakan. Belakangan Saya baru tahu itulah konsep Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir M.A seorang Ulama dari Madinah yang menyelesaikan tesis yang fenomenal berjudul ‘at Thoriq ila jama’atil Muslimin ’. Tesis itu kemudian di bukukan dan menjadi rujukan dalam memahami telaah sistem jamaah dalam gerakan Islam. Selepas itu Saya tidak bertanya lagi, takut salah dan belum tentu Saya memahami jawaban Beliau. Istri Saya keluar rumah , lalu saya memohon pamit selepas menghabiskan segelas air mineral bukan karena haus, barangkali karena fikiran Saya bekerja lebih keras. Ustadz Nur melepas kami dengan hangat. Sore yang penuh kesan, bersama orang yang penuh perhatian.
Seminggu sudah semenjak wafatnya Beliau, seluruh materi Halaqoh7 tiba-tiba berubah tema menjadi membicarakan keteladanan hidup Beliau. Tidak terkecuali syuro8 Dewan Guru sebuah sekolah Islam tempat Saya bekerja. Sabtu pagi selepas peringatan maulid Nabi, syuro dimulai dengan Taujih oleh Ustadz Wahab selaku kepala Sekolah. Awalnya lancar-lancar saja seperti biasa, lalu beberapa saat kemudian suasana menjadi haru, Ustadz Wahab pun bercerita dengan wajah yang berusaha menahan air mata. Betapa tergambar ketika salah seorang Mad’u Beliau menge-cat rumah Ustadz Nur. Tidak ada barang mewah layaknya seseorang yang pernah menjadi anggota DPRD Provinsi atau pemimpin besar wilayah. Yang ada hanya kamar-kamar sederhana yang sulit di bedakan mana kamar Ustadz Nur dan Mbak Win, dan mana kamar anak-anak Beliau. Prabot rumah seperlunya dan jauh dari kesan mewah. Saya jadi teringat pepatah lama yang populer di dunia barat di sampaikan filusuf timur ,Lao-Tzu “ He who controls others may be powerful, but he who has mastered himself is mightier still . Syuro Dewan Guru saat itu dimulai dengan bercermin pada seorang Guru Spiritual yang mampu menahan obsesi akan hingar bingar yang bersifat sementara untuk tujuan yang lebih besar dan lebih kekal.
Saya beberapa kali mendengar kisah kegigihan Beliau untuk berkontribusi dalam Da’wah walau dalam keterbatasan sekalipun. Semangat Beliau mengikuti syuro sangat besar. Setiap syuro Beliau selalu hadir hingga akhir. Mengingat kondisi Beliau yang memiliki indikasi berpotensi mengalami stroke serangan kedua yang lebih fatal dari serangan pertama, maka sampai-sampai beberapa Ustadz sebagai bentuk kasih sayang terhadap Beliau terpaksa merahasiakan waktu syuro. Hanya saja Ustadz Nur selalu punya cara untuk mengetahui waktu syuro dan datang mengikutinya. Kadang kala syuro di berhentikan sejenak seolah-olah sudah berakhir, tapi Beliau menunggu sampai peserta berangsur-angsur pulang. Terpaksa beberapa peserta syuro hanya memutar mobil di jalan untuk memberikan kesan seolah benar-benar pulang, lalu kembali lagi ke Sekertariat DPW untuk melanjutkan syuro setelah Ustadz Nur di antar pulang untuk istirahat.
Semasa hidup, Beliau bukan hanya memberikan inspirasi dan kata-kata pembangkit semangat layaknya kebanyakan pemimpin pergerakan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu semua, Beliau telah memberikan contoh teladan yang menunjukkan bagaimana karakter seorang pejuang yang gigih sekaligus di saat yang bersamaan memiliki kehangatan persahabatan. Melihat Beliau berinteraksi memberi pelajaran pada Saya tentang At-Thoriq ilal Qulub . Tidak hanya retorika atau sekedar kata-kata indah Tapi Beliau telah memberikan contoh langsung bagaimana seorang Pejuang itu hidup dan berjuang hingga titik yang paling akhir.
Pagi hari menjelang pemakaman Ustadz Nur, entah mengapa tiba-tiba Saya ingin menuliskan Puisi pendek di buku saku untuk Beliau yang pada hari itu memulai perjalanan menuju Surga. Puisi tanpa judul itu berbunyi :

“Sahabat tahukah engkau apa itu "Hari-hari Cinta", hari-hari Cinta itu adalah
hari dimana perjuangan & air mata menjadi satu dalam telaga Rindu.
Pada hari itu detak jantungmu seirama dengan lagu kedamaian dan
ketenangan, walau tubuhmu terpenjara dalam bilik-bilik sunyi Tirani dan
terhempas oleh debu jalanan. Pada Hari itu banyak hamba mempersembahkan hidupnya untuk Sang Pencinta Sejati, Pemilik labuhan rindu setiap Pejuang… “
Selamat Jalan Ustadz Nur Huda, kelak Kami akan menjadi Saksi …

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright PKS Samarinda Ulu 2012 | Design by PKS TEMPLATE | Powered by Blogger.com.